“Mbakyu,
minta segelas jamu seger buger” sambil tersenyum genit, kuli bangunan itu
menghentikan langkah penjual jamu. Memang seperti biasa, bakul jamu setiap hari
lewat di kompleks perumahan yang baru saja dibangun.
“Eeeh
mas Jower, boleh mas” mbakyu jamu itu berhenti dan mengarah langkahnya ke kuli
bangunan. Pinggulnya bak buah salak berbiji dua melenggok gemulai karena
menahan bakul yang terbuat dari anyaman bambu. Tukang jamu tersebut menurunkan
bakulnya.
“Jamu
seger buger kayak kemarin ya mas ?” tukang jamu tersebut menegaskan. Namanya
mbak Parinem Cavrafilanov. Nama yang cukup asing tetapi pembaca jangan heran.
Ia memang keturunan asing. Bapaknya Jawa Tengah, tepatnya Boyolali, dan ibunya
dari Rusia. Kulitnya pun jauh dari warna gosong coklat gemblong. Sangat putih
bersih dengan mata kebiru-biruan. Rambutnya agak pirang bukan dicat rambut tapi
memang asli dari lahirnya. Makanya, logat Jawa dengan awalan “m” yang begitu
kental, tidak berpengaruh bagi laki-laki yang menatapnya. Pasti dan sangat
diyakini, setiap mata laki-laki tertuju padanya walau ia sebagai penjual jamu.
Segelas
jamu seger buger yang dimaksud Mas Jower telah tertuang ke dalam gelas. Ia
memberikan pada Mas Jower. Mas Jower tersenyum. Ia sangat menikmati keindahan
wajah Parinem. Gelas yang disodorkan, disambut tangan Mas Jower dan sedikit
menyentuh jari Parinem.
“Iiih,
mas Jower suka nakal deh” gelitik manja penjual jamu.
Mas
Jower tersipu. Kelihatannya ia menang dalam kesempatan emas itu. Menyentuh jari
Parinem sang bidadari Boyolali – Rusia.
“Mbak,
boleh tanya gak ? Mas Jower memberanikan diri.
“Boleh
aja, ada yang perlu dijawab ya ?” Parinem sedikit jual mahal.
“Duuh,
segitu galaknya, tapi tidak apa-apa, mbakyu tambah cuantik kok” Mas Jower
merayu dengan memuji. Wajah Parinem memerona merah.
“Kira-kira
mbakyu malam minggu ada acara gak ?” Mas Jower memberanikan diri
“Memang
kenapa kalo ada acara ?”
“Yah,
kalo ada acara, tidak enak, nanti mengganggu acara mbakyu”
“Mengganggu
bagaimana mas ?”
“Tadinya,
maksud aku, kalo mbakyu tidak ada acara, saya mau ajak kamu nonton” Mas Jower
blak-blakan sambil tersenyum.
“Waduh,
bilang aja ngajak nge-ndate”
“Ya
bisa dibilang begitu, nge-ndate ya …
cuma nonton ama makan mie ayam. Kira-kira ada yang marah tidak ?”
“Ya
ndaklah, aku ini kan janda. Tidak ada yang melarang aku pergi kemana dan dengan
siapa”
Mas
Jower tersenyum. Ia tau persis bahwa Parinem memang janda. Tapi janda kembang
yang harumnya tersebar di beberapa kampung. Maklum, tukang jamu biasa keliling
kampung untuk berjualan.
“Jadi
bagaimana ? mau kamu aku ajak jalan-jalan malam minggu ?” Mas Jower bertanya
untuk memastikan.
“Ya
sudah, untuk pelanggan setia seperti mas, aku nurut aja” sambil tertunduk
Parinem membereskan gelas yang telah terpakai.
“Tapi
mbakyu, nomor HP kamu berapa ?” tanya Mas Jower.
“081-psst-pssst-psst
trus psst, itu nomor hunting aku” Parinem setengah berbisik pada Mas Jower. Ia
khawatir pembaca akan tau dan ngerjain dia dengan “miscall” terus yang tak jelas.
Setelah
beberapa saat, Parinem pamit kepada Mas Jower. Ia hendak keliling lagi menjual
jamu.
Malam
minggu tiba, Mas Jower telah siap satu jam sebelum maghrib. Kemeja garis-garis
disemprot dengan parfum kelas pasar inpres, cukup menyengat seperti aroma
kemenyan dicampur alkohol. Celana katun biru gelap bermodel lempeng sedikit
cutbray, terlihat kaku dan nampak garis setrika mancung ke depan. Ia dengan
sangat percaya diri akan bersanding malam ini dengan Parinem. Menikmati malam
indah bersama wanita idaman.
“Tet,
tet, tet dan teeet” handphone berlayar kuning dan hitam dipencet Mas Jower.
“Tuuut, tek tek, tuuut” nada sambung berhenti. Kemudian, suara yang sangat khas
dengan awalan “m” terdengar.
“Assalamualaikum
mas”
“Waalaikum
salam”
“Mas
Jower ya ?, aku dah siap kok, aku tunggu di depan kontrakan ya” sang empu
handphone mbakyu Parinem tanpa berbasa basi menunggu arjunanya. Mas Jower
memang rada sedikit ganteng dibanding kuli bangunan lainnya walaupun bibirnya
agak jontor dan dower.
“Oh
iya mbakyu, aku juga dah siap, tunggu ya …” handphone diputus Mas Jower sambil
mencium handphonenya sendiri mengingat pulsa sangat mahal jika digunakan malam
minggu.”Ayem komiiinnggg” logat bahasa Inggris
dilantunkan Mas Jower walau handphone telah terputus. “Tunggu kangmas yaaa” Mas
Jower berbisik sambil tersenyum-senyum sendiri.
Mas
Jower bergegas keluar rumah. Ia bersiul-siul kecil. Tangannya dimasukkan ke
dalam saku celana. Baginya, malam minggu ini seperti malam terbebas dari
belenggu. Ia menghirup udara segar sekali.
Sampai
di depan kontrakan dimana ia berjanji dengan Parinem, langkahnya terhenti. Ia
celingukan, mencari dan mencari. Tak ada Parinem di sana. “Mungkin Parinem
belum sampai di tempat” gumamnya dalam hati.
Selang
beberapa lama, Parinem mulai terlihat. Dengan busana khas tukang jamu ia tampil
bagaikan penyanyi keroncong. Mas Jower sangat senang melihatnya. Ia begitu
gemulai dengan atau tanpa bakul di belakangnya. “Duh cantiknya bidadariku” begitu
hatinya tertawa riang.
“Hai
mbakyu”
“Duh
sudah lama menunggu mas ?”
“Nggak
kok, baru aja sekitar lima belas menit”
“Oh
ya mas, aku lupa menyampaikan sesuatu”
“Tentang
apa ?”
“Sebenarnya
malam ini aku ada acara” Parinem menjelaskan
“Acara
apa ?”
“Aku
diundang acara pertunangan putera langganan jamuku. Itu loh Pak Jumarko,
juragan gas di kampung sebelah utara”
“Oh
iya, yang rumahnya warna krem berbatik coklat tua ?”
“Iya,
bagaimana kalo kita ke sana aja ?. Kan gratis makan malam” Parinem sedikit
merayu.
“Ya
sudah terserah kamu, yang penting kan aku bersamamu malam ini”
Parinem
tersenyum ayu. Segera ia menggandeng tangan Mas Jower dengan erat. Mereka
berdua menelusuri beberapa gang yang agak gelap.
Sesampai
di depan tempat tujuan, suasana rumah Pak Jumarko sepi. Tak ada tanda-tanda
keramaian disitu. Hening senyap. Parinem dan Jower termangu. Mereka saling
berpandangan. Tetapi tak lama kemudian, seorang laki-laki berbaju safari
berwarna coklat keluar dari samping rumah. Ia tersenyum. Pak Jumarko, menyambut
mereka. Sepertinya ia tau bahwa ada tamunya yang datang. Dengan sedikit
basa-basi, Pak Jumarko mempersilahkan mereka langsug ke tempat pesta. Tepatnya
di taman belakang rumah Pak Jumarko.
“Astagaa”
Mas Jower terbelalak kagum. Ternyata pesta itu begitu meriah. Sepertinya mereka
dari kalangan orang-orang ekonomi kelas atas. Busana yang mereka kenakan sangat
gerlap. Cahaya lampu ditambah musik pesta menambah suasana begitu indah.
Parinem
memandang Mas Jower. Ia sepertinya mengerti, Mas Jower agak malu-malu. Dengan
rasa penuh pengertian, Parinem mendekap tangan Mas Jower menuju meja hidangan.
Pak Jumarko mengiringi mereka.
Mas
Jower melahap hidangan yang tersedia. Termasuk mencicipi makanan penutup,
salad, ala orang bule. Ia sangat senang sekali, seumur hidup belum pernah dia
makan makanan yang sangat enak. Setiap meja ia hampiri, sampai ia merasa cukup
puas dan kenyang. Parinem yang dari tadi memperhatikan Mas Jower, cuma bisa
tersenyum.
Beberapa
saat, Mas Jower nampak puas. Ia duduk bersama Parinem di salah satu kursi
taman. Pak Jumarko menghampiri mereka. Ia menawarkan sebuah kamar mewah jika
butuh beristirahat. Mas Jower senang bukan kepalang. Tanpa panjang lebar, Mas
Jower menarik tangan Parinem menuju kamar. Mas Jower yang setengah mabuk karena
menenggak minuman ala barat tak dapat lagi berfikir jernih. Tetapi, Parinem
menolak keras. Ia tak mau mengikuti keinginan Mas Jower.
Tarik
menarik antara Mas Jower dan Parinem terjadi. Parinem tetap kuat menarik tangan
Mas Jower. Perang mulut pun terjadi. Mereka menjadi perhatian para tamu
undangan di pesta itu.
“Mas
sadar …!!” Parinem mengingatkan
“Ayolah
sayang, tidak apa-apa. Aku cuma butuh istirahat sejenak” pinta Mas Jower
“Mass,
jangan ..!!” Parinem menarik kuat-kuat. Parinem menampar pipi Mas Jower
kuat-kuat, “Plak-plak”, “astagfirullahalazim, Allahu akbar”, sambil mengucap
kata-kata ilahi.
Mas
Jower terbelalak. Ia tersadar dari angan-angannya. Ternyata, Mas Jower dan
Parinem berada di rawa-rawa yang penuh semak belukar di belakang rumah Pak
Jumarko, sedang berjalan menuju tengah danau. Mungkin, satu meter lagi, Mas
Jower tenggelam di danau angker tersebut.
Tetapi,
Mas Jower sudah tenggelam setengah badan terjebak lumpur rawa. Dengan sekuat
tenaga, keduanya berusaha mencapai tepi rawa, tepat di belakang pagar rumah Pak
Jumarko.
Sesampai
di tepian, mereka sangat lelah. Mereka berpelukan sambil melepas keletihan yang
melanda. Beberapa saat kemudian, Pak Jumarko yang saat itu sedang berada di
taman belakang, mengetahui mereka. Dengan terhalang pagar, Pak Jumarko
berteriak.
“Hey
sedang apa kalian, hati-hati danau itu angker bukan main !!”
Parinem
yang sangat mengenal Pak Jumarko menoleh. Seperti dibantu tenaga gaib, mereka
berdua menghampiri Pak Jumarko.
“Tolong
kami pak, kami nyaris tenggelam di danau” begitu Parinem berharap.
Pak
Jumarko bergegas menghampiri mereka dengan sebuah senter. Ia meraih kedua
tangan mereka yang saat itu mereka sedang duduk kelelahan. Setelah beberapa
saat mereka melepas lelah duduk di beranda rumah Pak Jumarko, mereka bercerita
tentang apa yang terjadi. Pak Jumarko lantas tersenyum.
“Mas
dan mbakyu, memang benar saya mengundang mbakyu dalam pesta pertunangan anakku.
Tetapi, itu minggu lalu. Mbakyu saya tunggu-tunggu tidak datang” ujar Pak
Jumarko.
Parinem
terdiam.
“Sebenarnya,
di belakang rumah saya terdapat danau yang sangat angker. Banyak menelan korban
jiwa, terutama mereka yang sengaja berpacaran di pinggir danau tersebut.
Menurut pemilik rumah sebelum saya, danau itu dihuni siluman buaya putih
jelmaan jin Paratusiakisan” Pak Jumarko sedikit berkisah.
Mas
Jower dan Parinem terbengong-bengong.
“Apakah
kamu memakan hidangan yang ada di pesta itu ?” sepertinya Pak Jumarko tau
persis apa yang dialaminya.
“Iya,
kami memakan hidangan di pesta itu” Mas Jower sontak menjawab.
“Iya
pak, tetapi Mas Jower yang begitu banyak menyantapnya” Parinem meneruskan
perkataan Mas Jower.
“Astaghfriullah
…, untungnya kamu tidak jadi korban” Pak Jumarko sedikit kaget
Setelah
beberapa saat, Mas Jower dan Parinem pamit. Dengan ucapan terima kasih banyak,
mereka meninggalkan rumah Pak Jumarko. Busana mereka bau lumpur dicampur amis
dan sangat kotor. Diperjalanan, mereka cuma bisa terdiam.
Mas
Jower berpisah dengan Parinem setelah Mas Jower mengantar Parinem sampai di
rumah kontrakannya. Ia tak habis pikir dengan kejadian yang menimpa malam itu.
Mereka nyaris jadi korban keangkeran danau itu.
Keesokan
harinya, Mas Jower seperti biasa bekerja sebagai kuli bangunan. Ia bercerita
pada teman-temannya, tetapi, tak satupun teman Mas Jower percaya. Mereka ingin
membuktikan keangkeran danau tersebut dan mengajak Mas Jower ke sana.
Mas
Jower dan ketiga temannya akhirnya pergi mengunjungi danau tersebut. Alangkah
kagetnya Mas Jower melihat pemandangan di tepi rawa-rawa dimana dia dan Parinem
menghadiri pesta. Bangkai kodok, lindung, ikan gabus yang telah tersobek-sobek
dagingnya berserakan tepat dimana Jower dan Parinem berada. Ia hapal betul
bahwa ia memakan hidangan yang ada di pesta itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar