Sabtu, 10 Desember 2011

BUNGAKU LAYU DI PERJALANAN


"Stanley Mahardhika"
Bungaku layu. Aku tak lagi berpijar. Semuanya redup ditelan semua kegetiran asa. Ia yang begitu kucinta, telah mendahuluiku. Rintihan pedih selau menyeringai disetiap desahan nafasnya. Kanker begitu kejam dan tak pernah menoleh peduli suara hatiku yang begitu mencintainya.
Enam bulan sudah, bungaku didera penyakit ganas.
Dari pengobatan medis sampai alternatif. Menurut medis, bungaku terserang kangker rahim, padahal sedikitpun ia belum pernah menikah apalagi melahirkan. Tetapi lain halnya dengan tabib atau boleh disebut paranormal. Bungaku terserang teluh yang mematikan. Katanya, ada seorang pemuda yang sakit hati karena ditolak cintanya.

Delapan tahun tiga bulan, kenangan indah bersamanya terukir dan terpahat di lubuk hatiku. Ia yang begitu kumanja, kucinta, yang tak luput menoreh cerita cinta dalam hidupku, mengisi setiap waktu juga setiap detik dalam alunan desahan nafasku.
Bungaku begitu sempurna membahagiakan taman hatiku. Seiring semilir angin yang berhembus, ia melambaikan bahagia hanya untukku. Kesetiaan dan ketulusan cintanya begitu kurasakan merasuk sampai ke sumsum tulangku. Aku melambung tinggi dalam singgasana cinta. Mengawan terus menuju syurga kedamaian hati.
Di sebuah perjalanan waktu, ia terlelap dalam dadaku. Wajahnya begitu teduh. Matanya tertutup redup menikmati indahnya sebuah kebersamaan. Bising roda besi sebuah kereta kelas eksekutive jalur Jakarta – Surabaya yang kutumpangi, tak mengusik mimpinya menuju jurang kelelapan. Saat kubelai rambutnya, ia membuka matanya perlahan sambil tersenyum. Dengan nada khas, pita suaranya bergetar memanggil aku ”mas”. Hatiku bergetar teduh.
Setiap stasiun kereta di kota besar sebelum sampai di Surabaya, kereta yang ku tumpangi berhenti. Kesibukan begitu nampak menghiasi beranda sisi kanan-kiri rel kereta. Pedagang dengan sigap menjajakan barang-barang dari luar jendela. Keringat terlihat membasahi kening mereka, membuat wajahnya berkilap memantulkan cahaya matahari. Dari nasi bungkus, rokok dan permen-permen, sampai pernak pernik cidera mata. Setiap kota memiliki khasnya sendiri-sendiri.
Berjalannya waktu, kota Surabaya semakin dekat. Setelah melewati kota Semarang, kereta sepertinya tak memiliki rem. Melesat menembus sela-sela angin mengibas ilalang dan rerumputan. Kertas, plastik, apalagi debu-debu berterbangan tidak menentu arah ditembus gerak kereta besi. Sepertinya sang loko tak bernafas mengejar waktu tanpa melirik apapun. Dan di sebuah detik perjalanan waktu, stasiun Surabaya membuka diri menerima kereta api sebagai tamunya hingga berhenti tak bergerak lagi.
Saat ku menoleh pada wajah sang asri, bungaku, ia masih tertelap. Dengan sebuah kecupan mesraku di keningnya, ia membuka matanya perlahan. Ia terjaga dan melihat situasi di sekelilingnya. Ternyata, ia mendapati tujuan kami di Surabaya telah sampai. Bergegas aku mengangkat beberapa travel bag berisi perlengkapan kami sehari-hari. Aku turun dari gerbong dengan menggenggam jemarinya, mengiring langkahnya yang syahdu berlenggok.
Kami berjalan ke arah gerbang keluar stasiun Surabaya. Kota yang cukup terik di siang hari yang serius bersaing dengan Jakarta. Menaiki angkutan umum melanjutkan perjalanan menuju rumah orang tuanya. Peluh mulai membasahi tubuh kami, tapi perjalanan pun tetap berjalan.
Kurang lebih setengah jam kami mengendari angkutan umum, di sebuah rumah dengan tatanan asri di sebuah desa, angkutan kami berhenti. Kami turun dan memasuki sebuah halaman rumah yang agak luas menuju pintu masuk. Suasana nampak sepi dan seperti biasanya.
Bungaku mengucapkan salam saat memasuki ruang tamu sambil terus berjalan ke dalam rumah mencari ibunya. Ia mendapati ibunya di dapur masih dengan kayu bakar sedang menanak nasi. Mereka berdua berpelukan. Air mata sang bunda meleleh saat pelukan sepasang ibu dan anak semakin erat. Kerinduan pada buah kasihnya tumpah hingga terasa menyayat hatiku, walaupun aku seorang laki-laki. Haru pun terus menggembung dalam nurani.
Hari demi hari kami lalui di kota itu. Canda yang seakan dingin menghiasi kami. Hingga satu hari akhirnya, Bungaku bertutur kata pada sang bunda. Ia menyatakan, waktunya hidup di dunia tinggal beberapa hari. Bunda sang bunga miris seakan tak percaya. Tetapi, dengan segenap ketabahan sang bunda mencoba menerima semua kenyataan.
Sang Bunda pun pernah mencoba tak rela dengan kenyataan bahwa Bungaku terkena penyakit ganas. Ia berusaha membawanya ke berbagai klinik pengobatan. Tapi yang didapat hanyalah nihil dan kondisi Bungaku mulai semakin sayu dan mulai mengering. Ia mulai terbaring tiga minggu sebelum hari H tiba.
Di suatu hari, ia mulai lemas. Selanjutnya dan seterusnya, siang dan malam dilalui dengan penderitaan rasa panas dingin yang begitu kuat. Bibirnya membiru matanya mulai cekung. Nafsu makannya entahlah kemana. Gemeretak bibirnya selalu bergetar saat menahan sakit, entah apa yang dirasakan. Ia selalu tersenyum mendapati aku berada disampingnya. Tetapi anehnya, sholat yang begitu berat dilakukan oleh mereka yang sehat walafiat, tidak berlaku baginya. Sambil berbaring, ia selalu melaksanakan shalat lima waktu yang ditutup dengan doa-doa kepada Ilahi. Hatiku pedih, mataku selalu sembab mengisi tiap pergantian hari.
Ia tersenyum di suatu pagi padaku. Ia berharap mendapati kesabaran dan ketabahan aku dalam menghadapi kenyataan ini. Senyumnya yang begitu khas memahat hatiku begitu dalam. Aku mengangguk pelan.
Namun detik demi detik terasa mencekam bagiku. Pukul sembilan dua menit, ia ingin dipeluk. Aku berfikir ia hanya merasa kurang nyaman. Dengan segenap perasaan kasih dan sayangku, kupeluk Bungaku. Aku berharap kedamaian pelukanku mengurangi penderitaan yang dia alami. Serasa air mata menetes membasahi kaos di pundakku. Aku merangkul erat, begitu erat. Tetapi lambat laun, pelukannya melemah dan ia terkulai. Nafasnya tak lagi kurasa hangat. Ia telah pergi untuk selamanya.
Tangisanpun memecah kesunyian di kamar itu. Aku hanya sesegukan tak berirama melepas kepergiannya. Bendera kuning yang dibuat dari kertas minyak mulai ditancapkan di depan rumah. Aroma stanggi memadati udara sekeliling rumah itu. Dan, ambulanpun berdenging mengantar jenazah bungaku menuju pembaringan terakhir. Selamat jalan Bungaku, aku berbisik dengan penuh kepiluan.
Setelah beberapa puluh tahun kepergiannya, menjelang usiaku ke enam puluh lima, aku bersama anak-anak yatim piatu mengisi hidup dalam sebuah Yayasan yang aku kelola. Aku yang tak pernah bisa pindah ke lain hati, tetap setia memegang teguh cintanya. Janjiku, tidak akan menikah dengan siapapun. Semoga Bungaku tersenyum menyaksikan kesetiaanku padanya hingga aku menutup mata kelak. Bungaku ”Aku cinta padamu selamanya” janjiku dalam sebuah nuansa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar