"Stanley Mahardhika"
Bungaku layu. Aku tak lagi berpijar.
Semuanya redup ditelan semua kegetiran asa. Ia yang begitu kucinta, telah
mendahuluiku. Rintihan pedih selau menyeringai disetiap desahan nafasnya.
Kanker begitu kejam dan tak pernah menoleh peduli suara hatiku yang begitu
mencintainya.
Enam bulan sudah,
bungaku didera penyakit ganas.
Dari pengobatan medis sampai alternatif.
Menurut medis, bungaku terserang kangker rahim, padahal sedikitpun ia belum
pernah menikah apalagi melahirkan. Tetapi lain halnya dengan tabib atau boleh
disebut paranormal. Bungaku terserang teluh yang mematikan. Katanya, ada
seorang pemuda yang sakit hati karena ditolak cintanya.
Delapan tahun tiga bulan, kenangan indah
bersamanya terukir dan terpahat di lubuk hatiku. Ia yang begitu kumanja,
kucinta, yang tak luput menoreh cerita cinta dalam hidupku, mengisi setiap
waktu juga setiap detik dalam alunan desahan nafasku.
Bungaku begitu sempurna membahagiakan
taman hatiku. Seiring semilir angin yang berhembus, ia melambaikan bahagia
hanya untukku. Kesetiaan dan ketulusan cintanya begitu kurasakan merasuk sampai
ke sumsum tulangku. Aku melambung tinggi dalam singgasana cinta. Mengawan terus
menuju syurga kedamaian hati.
Di sebuah perjalanan waktu, ia terlelap
dalam dadaku. Wajahnya begitu teduh. Matanya tertutup redup menikmati indahnya
sebuah kebersamaan. Bising roda besi sebuah kereta kelas eksekutive jalur
Jakarta – Surabaya yang kutumpangi, tak mengusik mimpinya menuju jurang
kelelapan. Saat kubelai rambutnya, ia membuka matanya perlahan sambil
tersenyum. Dengan nada khas, pita suaranya bergetar memanggil aku ”mas”. Hatiku
bergetar teduh.
Setiap stasiun kereta di kota besar
sebelum sampai di Surabaya, kereta yang ku tumpangi berhenti. Kesibukan begitu
nampak menghiasi beranda sisi kanan-kiri rel kereta. Pedagang dengan sigap
menjajakan barang-barang dari luar jendela. Keringat terlihat membasahi kening mereka, membuat wajahnya
berkilap memantulkan cahaya matahari. Dari nasi
bungkus, rokok dan permen-permen, sampai pernak pernik cidera mata. Setiap kota
memiliki khasnya sendiri-sendiri.
Berjalannya waktu, kota Surabaya semakin
dekat. Setelah melewati kota Semarang, kereta sepertinya tak memiliki rem.
Melesat menembus sela-sela angin mengibas ilalang dan rerumputan. Kertas, plastik,
apalagi debu-debu berterbangan tidak menentu arah ditembus gerak kereta besi.
Sepertinya sang loko tak bernafas mengejar waktu tanpa melirik apapun. Dan di sebuah
detik perjalanan waktu, stasiun Surabaya membuka diri menerima kereta api
sebagai tamunya hingga berhenti tak bergerak lagi.
Saat ku menoleh pada wajah sang asri,
bungaku, ia masih tertelap. Dengan sebuah kecupan mesraku di keningnya, ia
membuka matanya perlahan. Ia terjaga dan melihat situasi di sekelilingnya.
Ternyata, ia mendapati tujuan kami di Surabaya telah sampai. Bergegas aku
mengangkat beberapa travel bag berisi perlengkapan kami sehari-hari. Aku turun
dari gerbong dengan menggenggam jemarinya, mengiring langkahnya yang syahdu
berlenggok.
Kami berjalan ke arah gerbang keluar
stasiun Surabaya. Kota yang cukup terik di siang hari yang serius bersaing
dengan Jakarta. Menaiki angkutan umum melanjutkan perjalanan menuju rumah orang
tuanya. Peluh mulai membasahi tubuh kami, tapi perjalanan pun tetap berjalan.
Kurang lebih setengah jam kami mengendari
angkutan umum, di sebuah rumah dengan tatanan asri di sebuah desa, angkutan
kami berhenti. Kami turun dan memasuki sebuah halaman rumah yang agak luas
menuju pintu masuk. Suasana nampak sepi dan seperti biasanya.
Bungaku mengucapkan salam saat memasuki
ruang tamu sambil terus berjalan ke dalam rumah mencari ibunya. Ia mendapati
ibunya di dapur masih dengan kayu bakar sedang menanak nasi. Mereka berdua
berpelukan. Air mata sang bunda meleleh saat pelukan sepasang ibu dan anak
semakin erat. Kerinduan pada buah kasihnya tumpah hingga terasa menyayat
hatiku, walaupun aku seorang laki-laki. Haru pun terus menggembung dalam
nurani.
Hari demi hari kami lalui di kota itu.
Canda yang seakan dingin menghiasi kami. Hingga satu hari akhirnya, Bungaku
bertutur kata pada sang bunda. Ia menyatakan, waktunya hidup di dunia tinggal
beberapa hari. Bunda sang bunga miris seakan tak percaya. Tetapi, dengan
segenap ketabahan sang bunda mencoba menerima semua kenyataan.
Sang Bunda pun pernah mencoba tak rela
dengan kenyataan bahwa Bungaku terkena penyakit ganas. Ia berusaha membawanya
ke berbagai klinik pengobatan. Tapi yang didapat hanyalah nihil dan kondisi
Bungaku mulai semakin sayu dan mulai mengering. Ia mulai terbaring tiga minggu
sebelum hari H tiba.
Di suatu hari, ia mulai lemas.
Selanjutnya dan seterusnya, siang dan malam dilalui dengan penderitaan rasa
panas dingin yang begitu kuat. Bibirnya membiru matanya mulai cekung. Nafsu
makannya entahlah kemana. Gemeretak bibirnya selalu bergetar saat menahan
sakit, entah apa yang dirasakan. Ia selalu tersenyum mendapati aku berada
disampingnya. Tetapi anehnya, sholat yang begitu berat dilakukan oleh mereka
yang sehat walafiat, tidak berlaku baginya. Sambil berbaring, ia selalu
melaksanakan shalat lima waktu yang ditutup dengan doa-doa kepada Ilahi. Hatiku
pedih, mataku selalu sembab mengisi tiap pergantian hari.
Ia tersenyum di suatu pagi padaku. Ia
berharap mendapati kesabaran dan ketabahan aku dalam menghadapi kenyataan ini.
Senyumnya yang begitu khas memahat hatiku begitu dalam. Aku mengangguk pelan.
Namun detik demi detik terasa mencekam
bagiku. Pukul sembilan dua menit, ia ingin dipeluk. Aku berfikir ia hanya
merasa kurang nyaman. Dengan segenap perasaan kasih dan sayangku, kupeluk
Bungaku. Aku berharap kedamaian pelukanku mengurangi penderitaan yang dia
alami. Serasa air mata menetes membasahi kaos di pundakku. Aku merangkul erat,
begitu erat. Tetapi lambat laun, pelukannya melemah dan ia terkulai. Nafasnya
tak lagi kurasa hangat. Ia telah pergi untuk selamanya.
Tangisanpun memecah kesunyian di kamar
itu. Aku hanya sesegukan tak berirama melepas kepergiannya. Bendera kuning yang
dibuat dari kertas minyak mulai ditancapkan di depan rumah. Aroma stanggi
memadati udara sekeliling rumah itu. Dan, ambulanpun berdenging mengantar
jenazah bungaku menuju pembaringan terakhir. Selamat jalan Bungaku, aku
berbisik dengan penuh kepiluan.
Setelah beberapa puluh tahun kepergiannya,
menjelang usiaku ke enam puluh lima, aku bersama anak-anak yatim piatu mengisi
hidup dalam sebuah Yayasan yang aku kelola. Aku yang tak pernah bisa pindah ke
lain hati, tetap setia memegang teguh cintanya. Janjiku, tidak akan menikah
dengan siapapun. Semoga Bungaku tersenyum menyaksikan kesetiaanku padanya
hingga aku menutup mata kelak. Bungaku ”Aku cinta padamu selamanya” janjiku
dalam sebuah nuansa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar