Minggu, 11 Desember 2011

Belaian Akhir di Idul Fitri


by "Stanley Mahardhika"
Aku bersimpuh. Jiwaku luruh bersama nuansa rindang kalam ilahi. Begitu teduh menelisik setiap kisi-kisi nurani hingga meresap ke dalam sumsum tulangku. Menuai rahmat dan hidayah jemari Mu. Ramadhan yang hening ku tapaki tanpa orang-orang yang kukasihi. Ya, kini, kembali aku hanya seorang diri merajut nuansa ibadah tanpa anak dan suamiku tercinta.

Tatkala sahur menjelang, aku hanya menyibukkan diri untuk aku. Tanpa kehangatan Bondan, dan Mas Jaka tentunya. Mereka telah jauh, entah dimana. Putik-putik kenangan bersama mereka selalu menggoda. Dari nakalnya Bondan, sampai malasnya untuk bangun sahur adalah fenomena indahnya perjalanan merajut mahligai perkawinanku bersama Mas Jaka tatkala mengisi nuansa Ramadhan.
Dua tahun silam, badai menghantam bidak cinta perkawinan kami. Suamiku, Mas Jaka, tertangkap basah saat menodai sucinya cinta kami yang dirajut lima belas tahun lamanya. Ia berselingkuh dengan teman kantornya hingga tiga tahun lamanya. Tetapi yang membuatku bertanya-tanya, pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Bondan jatuh ke tangan suamiku. Aku pasrah tanpa daya sebab aku hanyalah wanita ibu rumah tangga biasa.
Jiwaku berontak karena hatiku teriris. Bagaimana tidak, kehormatan cinta yang selama ini kujaga dan kuagungkan, tergilas ambisi cinta Mas Jaka yang sesaat. Aku putuskan untuk berpisah dengan Mas Jaka yang telah tega menginjak-injak perasaanku demi wanita selingkuhannya itu. Tetapi setelah kami berpisah, sejuta misteri cinta Mas Jaka tak dapat ku urai dengan logika. Tak pernah ada kabar Mas Jaka menikah lagi dengan wanita yang kusebut selingkuhannya, apalagi menikah dengan wanita lainnya. Malah, Mas Jaka tinggal di kawasan club malam di tengah kota bersama anakku, Bondan.
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benakku. Sampai-sampai rasa rindu kembali menggelora. Raut wajahnya yang begitu kekar dengan sedikit bewok halus di rahangnya, menambah kharisma kerinduanku semakin dalam. Ditambah lagi, ramadhan ini jatuh pada musim hujan. Alangkah bahagia dan damainya jika Mas Jaka masih ada di sisiku.
Lamunanku semakin jauh hingga ibadahku terpecah belah. Yang harusnya semakin hari menjelang ramadhan usai, semakin gigih dan khusuknya aku beribadah, aku habiskan waktu untuk mencari-cari dua laki-laki yang sangat berarti dalam hidupku, Mas Jaka dan Bondan. Walaupun terik dan kering, dahagaku menjerat, lemah .. aku tak henti menjelajah tuk mencari pujaanku. Setidaknya aku bisa lihat mereka, memastikan mereka, walau untuk waktu yang sangat sesaat.
Di suatu pagi, setengah tujuh, aku telah menanti kereta api listrik ekonomi di salah satu stasiun kecil menuju arah dimana Bondan dan Mas Jaka tinggal. Dengan secarik informasi yang kudapat dari sahabatnya, aku nekat ingin menemui mereka. Kusingsingkan ego, ku cabik-cabik harga diri, demi Bondan .. (sedikit jual mahal) Mas Jaka tentunya. Alasanku, aku sebagai ibu kandung Bondan, wajarlah aku merindukan dia. Begitu kira-kira jawaban saat Mas Jaka bertanya mengapa aku menjumpai mereka.
Kereta mulai bergerak setelah aku berjejal dan berdesak-desakan melalui pintu masuk salah satu gerbong. Maklumlah, Jakarta di pagi hari, aktifitas pekerja sangat menyesaki setiap alat transportasi terutama kereta listrik kelas ekonomi. Loko bergerak meliuk menapaki rel terus menuju ke arah tengah kota seakan-akan ingin mengalahkan waktu yang bergerak lebih cepat. Stasiun demi setasiun terlewati. Penumpang meloncat turun dan naik saling berganti.
Stasiun Kota, tujuan akhir kereta yang kutumpangi memasuki berandanya. Beberapa detik, keretapun berhenti. Kami yang masih tertumpuk di dalam, saling mendorong dan berdesakan untuk keluar gerbong. Yah, keringat mengalir dan tenagaku terkuras, hanya untuk keluar gerbong. Sepatuku tak lama menginjak lantai stasiun tersebut dan bergegas ke luar stasiun.
Sebuah angkutan kota beroda tiga tempo dulu, bemo, berhenti tepat di depanku. Bergegas ku duduk di belakang. Salah satu penumpang laki-laki beraroma wangi sekali nampak duduk bersahaja di sebelahku. Pakaiannya rapih, sepertinya seorang pegawai yang sangat apik dan disiplin. Ia tersenyum dan menggeser dengan maksud agar ku leluasa duduk disampingnya. Kami pun terlibat obrolan singkat di angkutan yang seharusnya tak lagi beroperasi. Beberapa saat, iapun pamit untuk turun terlebih dahulu. Aku melepas pamitnya dengan senyum yang apa adanya.
Sopir bemo berteriak tak begitu keras bahwa tempat tujuanku telah sampai. Bemo pun berhenti. Dengan reflek aku merogoh tasku. Aku sedikit panik saat dompet yang aku cari-cari tak ada di dalam tas. Darahku terasa terhenti mengalir ke otak. Aku terdiam tetapi aku coba memberanikan diri mengatakan bahwa aku kecopetan. Luar biasa, ternyata penumpang laki-laki perlente tersebut telah berhasil memperdaya aku. Pantas saja ia menggeser tempat duduknya agar tas yang ku jepit terdesak di tangan kirinya.
Untungnya, sopir bemo yang nampak berusia cukup berumur, mengerti kondisi aku. Ia cuma bisa terdiam pahit tanpa banyak bicara. Otaknya terlihat berputar mencerna setiap kalimat penjelasanku karena aku tak memiliki uang sepeserpun. Hatinya pun berkecamuk kesal saat aku sadar bahwa aku penumpang terakhir yang diantar ke tempat tujuan. Ah, enak atau tidak yang pasti aku tidak sedikitpun berniat menumpang gratis dan kulanjutkan langkahku ke alamat dimana Mas Jaka dan Bondan tinggal.
Lorong-lorong di antara ruko-ruko aku lalui. Berkali-kali pertanyaan aku lontarkan dan terus mengarah pada tempat yang ku tuju. Semakin dekat dan semakin dekat. Hati ku bergemuruh saat kakiku tepat di depan kontrakan di alamat tersebut. Tempatnya tak begitu angker atau kumuh, malah cukup sederhana aku bilang. Binar-binar mata kerinduan telah siap tertumpah saat kubayangkan Mas Jaka yang muncul di depan pintu. Aku pun mengetuk pintu depan.
Tepatnya lima kali ku ketuk pintu depan rumah tersebut, terdengar suara wanita dari dalam menyahut salamku. Nyessss .. hatiku hancur berkeping-keping mendengar suara wanita itu. Tentunya, ia isteri baru Mas Jaka. Tetapi seperti apa rupanya ? secantik akukah ? atau lebih muda dan cantik dia ?. Pastilah ia lebih muda, seksi, dan cantik daripada aku. Aku tau persis tipe seperti apa wanita yang Mas Jaka puja selama ini.
Jantungku semakin berdetak memacu darah. Sampai-sampai otakku terasa penuh dan membekukan imajinasiku tentang seperti apa isteri baru Mas Jaka. Suara gesekan sandal karet semakin mendekat, aku pun semakin cemas. Siang di ramadhan itu, kan membuka misteri cerita cinta Mas Jaka, mantan suamiku itu. Dan, lengan kunci pintu bergerak ke bawah yang akhirnya membuka sedikit dan melebar. Sosok wanita tersebut nampak nyata di depanku.
Aku terperanjat luar biasa. Dugaanku melesat jauh seratus delapan puluh derajat. Wanita dengan sedikit keriput, berambut keriting, mungkin berusia sekitar lima puluh tahunan, tersenyum ramah. Aku heran, mengapa Mas Jaka menikah dengan wanita setua itu ? atau ?. Akhirnya awing-awang pikiranku buyar saat ia bertanya siapa saya dan mencari siapa. Aku pun menjelaskan sambil berdiri di depan pintu. Tetapi, kekecewaan mengusik hatiku. Mas Jaka dan Bondan telah enam bulan yang lalu pindah ke kontrakan lain.
Rasanya tulang-tulangku remuk. Aku tak kuasa berjalan lagi, terduduk di pinggir kursi beton di salah satu halte bis di kawasan kota. Pikiranku kalut tidak menentu. Orang yang kucinta tak ku jumpai, ongkos pulang tak ada, tinggal tas yang membawa sedikit peralatan kosmetik yang tersisa.
Aku meneruskan perjalalanku dengan terhuyung. Lapar, haus, letih, tak lagi kurasa. Aku memutuskan untuk mengendarai bis dan memohon tumpangan gratis. Sesaat aku berdiri di pinggir halte sambil menunggu bis yang datang, dari arah belokan meluncur sebuah mobil truk setengah besar kehilangan kendali. Aku tak sanggup mengelak karena sepatuku cukup sulit untuk di bawa berlari.
Saat ku tersadar, mataku menatap lampu bohlam putih di langit-langit. Hiasan dinding brosur alat kesehatan dan medis bertebaran di sekeliling dinding kamar bercat putih. Aku menoleh dan tersadar aku berada di ruang perawatan salah satu rumah sakit. Tubuhku terasa sakit dan remuk seperti dipukul dengan alu. Kepalaku agak pening dan lemas luar biasa.
Beberapa saat, seseorang masuk dan tersenyum padaku. Ia Ratna, sahabat SMP ku dahulu yang telah lama tak bertemu. Ia menenangkanku dan menjelaskan semuanya sampai aku terbaring di rumah sakit. Rupanya, di tas milik aku tercatat nomor teleponnya yang sengaja ku bawa. Hal itu aku lakukan karena Ratna tinggal tak jauh dari kediaman Mas Jaka dan Bondan.
Seminggu sudah aku dirawat, dan dokter telah memperbolehkan pulang. Waktu itu, dua hari menjelang Idul Fitri. Aku di antar Ratna menggunakan taksi menuju rumahku di kawasan Depok. Cukup menelan kocek argo taksi dari Tanjung Priok sampai Depok. Rumahku telah di depan mata. Tampak sedikit berdebu setelah seminggu aku tinggal di rumah sakit.
Aku menatap tiap bilik-bilik ruangan. Hatiku berbisik pasrah bahwa kini aku benar-benar harus sendiri. Tanpa lagi untuk berusaha setelah kejadian demi kejadian hingga kecelakaan menimpa diriku. Aku hanya bisa meratap di kamar sendirian. Memandang album kenangan yang masih aku miliki dan kusimpan sebaik-baiknya. Lelehan air mata mengalir tanpa aku menyadarinya.
Malam takbiranpun menjelang. Aku kembali menyadari harus sendiri. Aku pun mengisi kesibukan dengan menikmati tayangan televise. Rupanya, meriah acara televise tak menyadari aku seseorang sibuk mengetuk pintu dari luar. Tiba-tiba, mataku tertutup tangan lentik bocah laki-laki. Aku kaget dan hampir pingsan saat aku menoleh Bondan dan Mas Jaka telah berada di ruang tengah dimana aku berada.
Senyumku mengembang luar biasa. Tanpa malu dan ragu, ku peluk erat Mas Jaka. Kerinduanku tumpah dengan gerai air mata. Kedua laki-laki pujaanku hadir di malam takbir yang penuh rahmah. Aku panjatkan ribuan terima kasih atas pertolonganMu telah menghadirkan orang-orang yang sangat kucinta.
Tanpa sadar, aku terhanyut dalam kerinduan yang memuncak. Mungkin, lamanya berpisah tak menyurutkan hasrat cinta yang telah lama redup. Malam takbiran bergelora, aku terpacu pesona dalam lingkar rasa yang membuatku melanglang buana. Hentakan demi hentakan ku nikmati bersama peluh dan hangatnya rasa. Hingga satu titik klimaks membuat awan terasa berpelangi. Aku terkulai lemah begipun Mas Jaka. Tanpa sanggup aku apa-apa lagi, aku tidur dengan mantan suamiku yang belum sah lagi satu ranjang denganku.
Subuh menjelang, takbir pun belum berhenti berkumandang. Aku beranjak dari tempat tidur hendak mandi dan shalat Ied di Masjid. Sempat aku lihat Mas Jaka masih terlihat pulas. Wajahnya nampak puas sekali. Aku tersenyum melihat polos wajahnya.
Bergegas ku mandi dan sholat subuh dua rakaat. Doaku semakin tajam dengan berjuta terima kasih telah mengembalikan orang yang telah pergi dalam duniaku. Kebahagiaan mengalir laksana embun jatuh bergulir di antara dedaunan. Aku kembali bersujud syukur kepadanya sambil mengakhir ibadahku saat itu.
Ku lihat Mas Jaka masih tertidur dengan posisi yang sama dan tidak bergerak sama sekali. Aku mendekat dan mencium keningnya. Terasa dingin. Aku mulai menggoda dengan menggelitik pinggangnya. Ia pun terdiam. Aku goyang-goyang tubuhnya, kembali ia hanya diam tak bergerak sama sekali. Aku kecup bibirnya, dingin tanpa udara hangat tersembur dari lubang hidungnya. Aku mulai panik dan pingsan setelah menyadari Mas Jaka telah meninggal dunia.
Aku siuman saat Bondan menangis di pangkuanku. Nampak beberapa orang sedang mengurus jenazah Mas Jaka. Mas Jaka terkena serangan jantung. Menurut dokter yang memeriksanya, ia terkena serangan jantung sekitar pukul setengah satu malam. Aku sangat terperanjat. Ia meninggal setelah bercinta denganku dan selama beberapa jam, aku tidur dipelukan mayat Mas Jaka. Selamat jalan Mas Jaka, akhirnya kita sadari bahwa cinta kita harus berakhir dalam kebersamaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar