by "Stanley Mahardhika"
Aku bersimpuh. Jiwaku luruh
bersama nuansa rindang kalam ilahi. Begitu teduh menelisik setiap kisi-kisi
nurani hingga meresap ke dalam sumsum tulangku. Menuai rahmat dan hidayah
jemari Mu. Ramadhan yang hening ku tapaki tanpa orang-orang yang kukasihi. Ya,
kini, kembali aku hanya seorang diri merajut nuansa ibadah tanpa anak dan
suamiku tercinta.
Tatkala sahur menjelang, aku
hanya menyibukkan diri untuk aku. Tanpa kehangatan Bondan, dan Mas Jaka
tentunya. Mereka telah jauh, entah dimana. Putik-putik kenangan bersama mereka
selalu menggoda. Dari nakalnya Bondan, sampai malasnya untuk bangun sahur
adalah fenomena indahnya perjalanan merajut mahligai perkawinanku bersama Mas Jaka
tatkala mengisi nuansa Ramadhan.
Dua tahun silam, badai menghantam
bidak cinta perkawinan kami. Suamiku, Mas Jaka, tertangkap basah saat menodai
sucinya cinta kami yang dirajut lima belas tahun lamanya. Ia berselingkuh
dengan teman kantornya hingga tiga tahun lamanya. Tetapi yang membuatku
bertanya-tanya, pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Bondan jatuh ke tangan
suamiku. Aku pasrah tanpa daya sebab aku hanyalah wanita ibu rumah tangga
biasa.
Jiwaku berontak karena hatiku
teriris. Bagaimana tidak, kehormatan cinta yang selama ini kujaga dan
kuagungkan, tergilas ambisi cinta Mas Jaka yang sesaat. Aku putuskan untuk
berpisah dengan Mas Jaka yang telah tega menginjak-injak perasaanku demi wanita
selingkuhannya itu. Tetapi setelah kami berpisah, sejuta misteri cinta Mas Jaka
tak dapat ku urai dengan logika. Tak pernah ada kabar Mas Jaka menikah lagi
dengan wanita yang kusebut selingkuhannya, apalagi menikah dengan wanita
lainnya. Malah, Mas Jaka tinggal di kawasan club malam di tengah kota bersama
anakku, Bondan.
Berbagai pertanyaan berkecamuk
dalam benakku. Sampai-sampai rasa rindu kembali menggelora. Raut wajahnya yang
begitu kekar dengan sedikit bewok halus di rahangnya, menambah kharisma
kerinduanku semakin dalam. Ditambah lagi, ramadhan ini jatuh pada musim hujan.
Alangkah bahagia dan damainya jika Mas Jaka masih ada di sisiku.
Lamunanku semakin jauh hingga
ibadahku terpecah belah. Yang harusnya semakin hari menjelang ramadhan usai,
semakin gigih dan khusuknya aku beribadah, aku habiskan waktu untuk mencari-cari
dua laki-laki yang sangat berarti dalam hidupku, Mas Jaka dan Bondan. Walaupun
terik dan kering, dahagaku menjerat, lemah .. aku tak henti menjelajah tuk
mencari pujaanku. Setidaknya aku bisa lihat mereka, memastikan mereka, walau
untuk waktu yang sangat sesaat.
Di suatu pagi, setengah tujuh,
aku telah menanti kereta api listrik ekonomi di salah satu stasiun kecil menuju
arah dimana Bondan dan Mas Jaka tinggal. Dengan secarik informasi yang kudapat
dari sahabatnya, aku nekat ingin menemui mereka. Kusingsingkan ego, ku
cabik-cabik harga diri, demi Bondan .. (sedikit jual mahal) Mas Jaka tentunya.
Alasanku, aku sebagai ibu kandung Bondan, wajarlah aku merindukan dia. Begitu
kira-kira jawaban saat Mas Jaka bertanya mengapa aku menjumpai mereka.
Kereta mulai bergerak setelah aku
berjejal dan berdesak-desakan melalui pintu masuk salah satu gerbong.
Maklumlah, Jakarta di pagi hari, aktifitas pekerja sangat menyesaki setiap alat
transportasi terutama kereta listrik kelas ekonomi. Loko bergerak meliuk menapaki
rel terus menuju ke arah tengah kota seakan-akan ingin mengalahkan waktu yang
bergerak lebih cepat. Stasiun demi setasiun terlewati. Penumpang meloncat turun
dan naik saling berganti.
Stasiun Kota, tujuan akhir kereta
yang kutumpangi memasuki berandanya. Beberapa detik, keretapun berhenti. Kami
yang masih tertumpuk di dalam, saling mendorong dan berdesakan untuk keluar
gerbong. Yah, keringat mengalir dan tenagaku terkuras, hanya untuk keluar
gerbong. Sepatuku tak lama menginjak lantai stasiun tersebut dan bergegas ke
luar stasiun.
Sebuah angkutan kota beroda tiga
tempo dulu, bemo, berhenti tepat di depanku. Bergegas ku duduk di belakang.
Salah satu penumpang laki-laki beraroma wangi sekali nampak duduk bersahaja di
sebelahku. Pakaiannya rapih, sepertinya seorang pegawai yang sangat apik dan
disiplin. Ia tersenyum dan menggeser dengan maksud agar ku leluasa duduk
disampingnya. Kami pun terlibat obrolan singkat di angkutan yang seharusnya tak
lagi beroperasi. Beberapa saat, iapun pamit untuk turun terlebih dahulu. Aku
melepas pamitnya dengan senyum yang apa adanya.
Sopir bemo berteriak tak begitu
keras bahwa tempat tujuanku telah sampai. Bemo pun berhenti. Dengan reflek aku
merogoh tasku. Aku sedikit panik saat dompet yang aku cari-cari tak ada di
dalam tas. Darahku terasa terhenti mengalir ke otak. Aku terdiam tetapi aku
coba memberanikan diri mengatakan bahwa aku kecopetan. Luar biasa, ternyata
penumpang laki-laki perlente tersebut telah berhasil memperdaya aku. Pantas
saja ia menggeser tempat duduknya agar tas yang ku jepit terdesak di tangan
kirinya.
Untungnya, sopir bemo yang nampak
berusia cukup berumur, mengerti kondisi aku. Ia cuma bisa terdiam pahit tanpa
banyak bicara. Otaknya terlihat berputar mencerna setiap kalimat penjelasanku
karena aku tak memiliki uang sepeserpun. Hatinya pun berkecamuk kesal saat aku
sadar bahwa aku penumpang terakhir yang diantar ke tempat tujuan. Ah, enak atau
tidak yang pasti aku tidak sedikitpun berniat menumpang gratis dan kulanjutkan
langkahku ke alamat dimana Mas Jaka dan Bondan tinggal.
Lorong-lorong di antara ruko-ruko
aku lalui. Berkali-kali pertanyaan aku lontarkan dan terus mengarah pada tempat
yang ku tuju. Semakin dekat dan semakin dekat. Hati ku bergemuruh saat kakiku
tepat di depan kontrakan di alamat tersebut. Tempatnya tak begitu angker atau
kumuh, malah cukup sederhana aku bilang. Binar-binar mata kerinduan telah siap
tertumpah saat kubayangkan Mas Jaka yang muncul di depan pintu. Aku pun
mengetuk pintu depan.
Tepatnya lima kali ku ketuk pintu
depan rumah tersebut, terdengar suara wanita dari dalam menyahut salamku.
Nyessss .. hatiku hancur berkeping-keping mendengar suara wanita itu. Tentunya,
ia isteri baru Mas Jaka. Tetapi seperti apa rupanya ? secantik akukah ? atau
lebih muda dan cantik dia ?. Pastilah ia lebih muda, seksi, dan cantik daripada
aku. Aku tau persis tipe seperti apa wanita yang Mas Jaka puja selama ini.
Jantungku semakin berdetak memacu
darah. Sampai-sampai otakku terasa penuh dan membekukan imajinasiku tentang
seperti apa isteri baru Mas Jaka. Suara gesekan sandal karet semakin mendekat,
aku pun semakin cemas. Siang di ramadhan itu, kan membuka misteri cerita cinta
Mas Jaka, mantan suamiku itu. Dan, lengan kunci pintu bergerak ke bawah yang
akhirnya membuka sedikit dan melebar. Sosok wanita tersebut nampak nyata di
depanku.
Aku terperanjat luar biasa.
Dugaanku melesat jauh seratus delapan puluh derajat. Wanita dengan sedikit
keriput, berambut keriting, mungkin berusia sekitar lima puluh tahunan,
tersenyum ramah. Aku heran, mengapa Mas Jaka menikah dengan wanita setua itu ?
atau ?. Akhirnya awing-awang pikiranku buyar saat ia bertanya siapa saya dan
mencari siapa. Aku pun menjelaskan sambil berdiri di depan pintu. Tetapi,
kekecewaan mengusik hatiku. Mas Jaka dan Bondan telah enam bulan yang lalu pindah
ke kontrakan lain.
Rasanya tulang-tulangku remuk.
Aku tak kuasa berjalan lagi, terduduk di pinggir kursi beton di salah satu
halte bis di kawasan kota. Pikiranku kalut tidak menentu. Orang yang kucinta
tak ku jumpai, ongkos pulang tak ada, tinggal tas yang membawa sedikit
peralatan kosmetik yang tersisa.
Aku meneruskan perjalalanku
dengan terhuyung. Lapar, haus, letih, tak lagi kurasa. Aku memutuskan untuk
mengendarai bis dan memohon tumpangan gratis. Sesaat aku berdiri di pinggir
halte sambil menunggu bis yang datang, dari arah belokan meluncur sebuah mobil
truk setengah besar kehilangan kendali. Aku tak sanggup mengelak karena
sepatuku cukup sulit untuk di bawa berlari.
Saat ku tersadar, mataku menatap
lampu bohlam putih di langit-langit. Hiasan dinding brosur alat kesehatan dan
medis bertebaran di sekeliling dinding kamar bercat putih. Aku menoleh dan
tersadar aku berada di ruang perawatan salah satu rumah sakit. Tubuhku terasa
sakit dan remuk seperti dipukul dengan alu. Kepalaku agak pening dan lemas luar
biasa.
Beberapa saat, seseorang masuk
dan tersenyum padaku. Ia Ratna, sahabat SMP ku dahulu yang telah lama tak
bertemu. Ia menenangkanku dan menjelaskan semuanya sampai aku terbaring di
rumah sakit. Rupanya, di tas milik aku tercatat nomor teleponnya yang sengaja
ku bawa. Hal itu aku lakukan karena Ratna tinggal tak jauh dari kediaman Mas
Jaka dan Bondan.
Seminggu sudah aku dirawat, dan
dokter telah memperbolehkan pulang. Waktu itu, dua hari menjelang Idul Fitri.
Aku di antar Ratna menggunakan taksi menuju rumahku di kawasan Depok. Cukup
menelan kocek argo taksi dari Tanjung Priok sampai Depok. Rumahku telah di
depan mata. Tampak sedikit berdebu setelah seminggu aku tinggal di rumah sakit.
Aku menatap tiap bilik-bilik
ruangan. Hatiku berbisik pasrah bahwa kini aku benar-benar harus sendiri. Tanpa
lagi untuk berusaha setelah kejadian demi kejadian hingga kecelakaan menimpa
diriku. Aku hanya bisa meratap di kamar sendirian. Memandang album kenangan
yang masih aku miliki dan kusimpan sebaik-baiknya. Lelehan air mata mengalir
tanpa aku menyadarinya.
Malam takbiranpun menjelang. Aku
kembali menyadari harus sendiri. Aku pun mengisi kesibukan dengan menikmati
tayangan televise. Rupanya, meriah acara televise tak menyadari aku seseorang
sibuk mengetuk pintu dari luar. Tiba-tiba, mataku tertutup tangan lentik bocah
laki-laki. Aku kaget dan hampir pingsan saat aku menoleh Bondan dan Mas Jaka
telah berada di ruang tengah dimana aku berada.
Senyumku mengembang luar biasa.
Tanpa malu dan ragu, ku peluk erat Mas Jaka. Kerinduanku tumpah dengan gerai
air mata. Kedua laki-laki pujaanku hadir di malam takbir yang penuh rahmah. Aku
panjatkan ribuan terima kasih atas pertolonganMu telah menghadirkan orang-orang
yang sangat kucinta.
Tanpa sadar, aku terhanyut dalam
kerinduan yang memuncak. Mungkin, lamanya berpisah tak menyurutkan hasrat cinta
yang telah lama redup. Malam takbiran bergelora, aku terpacu pesona dalam
lingkar rasa yang membuatku melanglang buana. Hentakan demi hentakan ku nikmati
bersama peluh dan hangatnya rasa. Hingga satu titik klimaks membuat awan terasa
berpelangi. Aku terkulai lemah begipun Mas Jaka. Tanpa sanggup aku apa-apa
lagi, aku tidur dengan mantan suamiku yang belum sah lagi satu ranjang
denganku.
Subuh menjelang, takbir pun belum
berhenti berkumandang. Aku beranjak dari tempat tidur hendak mandi dan shalat
Ied di Masjid. Sempat aku lihat Mas Jaka masih terlihat pulas. Wajahnya nampak
puas sekali. Aku tersenyum melihat polos wajahnya.
Bergegas ku mandi dan sholat
subuh dua rakaat. Doaku semakin tajam dengan berjuta terima kasih telah
mengembalikan orang yang telah pergi dalam duniaku. Kebahagiaan mengalir
laksana embun jatuh bergulir di antara dedaunan. Aku kembali bersujud syukur
kepadanya sambil mengakhir ibadahku saat itu.
Ku lihat Mas Jaka masih tertidur
dengan posisi yang sama dan tidak bergerak sama sekali. Aku mendekat dan
mencium keningnya. Terasa dingin. Aku mulai menggoda dengan menggelitik
pinggangnya. Ia pun terdiam. Aku goyang-goyang tubuhnya, kembali ia hanya diam
tak bergerak sama sekali. Aku kecup bibirnya, dingin tanpa udara hangat
tersembur dari lubang hidungnya. Aku mulai panik dan pingsan setelah menyadari
Mas Jaka telah meninggal dunia.
Aku siuman saat Bondan menangis
di pangkuanku. Nampak beberapa orang sedang mengurus jenazah Mas Jaka. Mas Jaka
terkena serangan jantung. Menurut dokter yang memeriksanya, ia terkena serangan
jantung sekitar pukul setengah satu malam. Aku sangat terperanjat. Ia meninggal
setelah bercinta denganku dan selama beberapa jam, aku tidur dipelukan mayat
Mas Jaka. Selamat jalan Mas Jaka, akhirnya kita sadari bahwa cinta kita harus
berakhir dalam kebersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar